Jumat, 15 Mei 2009
Kenapa PKS Bisa Terima Boediono?
Alasan tersebut disampaikan SBY kepada Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring dalam pertemuan jelang deklarasi pasangan capres-cawapres SBY-Boediono (SBY Berbudi) di Hotel Sheraton, Bandung, Jumat (15/5/2009).
“Kita minta penjelasan kenapa Boediono? SBY melihat persolan kita ke depan masih problem ekonomi. Selama lima tahun krisis ini belum berakhir,” katanya usai menghadiri deklarasi SBY Berbudi di Sabuga, Bandung, Jawa Barat.
Selain itu, PKS juga meminta penjelasan tentang mazhab ekonomi Boediono. Dalam pertemuan tertutup itu, lanjut Tifatul, SBY menjelaskan bahwa Undang-Undang Sukuk dan Perbankan Syariah yang lahir pada masa jabatan Boediono.
Sumber: Amirul Hasan - Okezone
Selasa, 08 Januari 2008
Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Jumat, 19 Oktober 2007
Peta Politik Pemilu 2009
Ada keteraturan dalam ketidakteraturan. Begitu kata ahli matematika dan fisika. Ada pola yang sama pada suatu struktur dalam skalanya yang kecil ataupun besar. Juga masih kata matematikawan dan fisikawan teori. Pun dalam sejarah. Ada pola dalam ragam peristiwa sepanjang ingatan manusia yang tampaknya acak itu. Pola itulah yang kemudian membentuk hukum-hukum sejarah. Sejarah digali agar bisa berulang, dan pula agar tidak lagi pernah terjadi. Dalam kehidupan politik bangsa kita, segalanya jadi tidak sama lagi sejak Revolusi Mei 1998. Terutama setelah orang-orang bisa relatif sangat bebas mendirikan partai.
Sejak awal banyak orang telah menduga bahwa sistim multi partai yang relatif sangat bebas itu akan memaksa partai-partai untuk berkoalisi. Koalisi diyakini akan jadi harga mati. Karena sangat sangat sangat (disebut 3 kali nih) sulit untuk mencapai suara mayoritas tunggal (kondisi ini akan membuat sistem kabinet parlementer, jika mungkin diterapkan, akan menjadi riskan, dan sangat labil. Belum lagi perilaku politik kita yang masih jauh dari dewasa. Sistem kabinet presidentil, sekalipun banyak kesenjangan antara konsep dengan prakteknya di Indonesia, akan membuat suhu politik relatif tetap stabil). Supaya bisa cukup punya kekuatan dan pengaruh di eksekutif maupun legislatif, partai-partai harus punya kemampuan membangun koalisi. Tapi rupanya praktek koalisi menjadi pil pahit buat banyak partai. Ada luka, ketakutan, dan kecewa yang dalam pada partai-partai itu. Sehingga kini mereka cenderung menghindarinya. Kalaupun akan dilakukan, kesan “melangkah dengan sangat hati-hati” jelas terlihat.
Koalisi akan menjadi hal yang sulit bagi Golkar dan PDIP. Hitung-hitungannya sangat berat. Terutama soal “bagi hasil”. Hampir tidak mungkin PDIP-GOLKAR berkoalisi. Hampir sulit berharap mereka bakal akur dan mesra. Sederhana aja kok logikanya. Coba tebak, siapa yang siap-mau-rela jadi cawapres, Mega atau Kalla kalau PDIP dan Golkar “bersatu”? Kita semua tahu bahwa kedua tokoh ini punya ego, kebanggaan diri, dan sipat keras kepala yang sama tinggi.
Tapi mungkin mereka (PDIP-GOLKAR) akan juga “bersatu” menjadi kekuatan oposisi. Siapapun yang akan jadi presiden kelak (selain dari GOLKAR atau PDIP), siap-siap aja dirongrong oleh mereka. Penting sekali “menjinakkan” mereka agar tetap kontruktif, apapun posisi mereka kelak terhadap pemerintah, mendukung atau oposisi sekalipun (istilah oposisi ini, kata para ahli, tidak tepat untuk sistem kabinet presidentil). Saya selalu berdoa semoga mereka masih tetap bertindak waras dan logis sekalipun kalah nantinya (baik dalam pemilu legislatif, apalagi dalam pemilu presiden).
Koalisi pun menjadi hal yang sulit bagi PKS. Karena negoisasi politik yang berkembang cenderung memaksa kita melunturkan warna dakwah dalam partai ini. Tentu saja kita sih berpolitik, dan berkuasa semata agar bangsa dan umat ini bermartabat. Bukan supaya kita leluasa berdagang atau bebas “menjual” asset negara dengan obral. Misi dakwah ini rupanya cukup jadi ganjalan buat partai lain untuk menerima kita dalam barisan koalisi mereka. Apalagi mereka merasa diri mereka lebih besar. Mereka pikir mereka tetap besar dan bisa “jalan tegak dengan dada membusung kepala mendongak” tanpa kita PKS. Tapi ternyata itu cuma perasaan kosong. Kebanggaan bolong. Pilkada di beberapa daerah sudah cukup membuat mereka tersentak kaget (awas jantungan loh), kemudian ketar-ketir deh. Berhitung ulang tentang konstelasi politik pada tahun 2009. Akhirnya dengan malu-malu kucing mereka mulai mencari kesamaan dengan kita (banyak indikasi ke arah sana. Kalo dibeberin mereka bakal malu dah), dan membuka pintu koalisi dengan kita. Siapapun yang menang, dan berhasrat tinggi untuk menang, mau tidak mau harus berkoalisi dengan PKS. Jika mereka ingin calon presiden mereka menang, maka partai yang paling bisa diharapkan untuk menambah perolehan suara cuma PKS. Pun jika mereka ingin membangun kekuatan oposisi di parlemen. Berkoalisi dengan PKS sebagai kekuatan oposisi yang membuat mereka menjadi “kekuatan yang tak tertandingi”.
Kita sejak awal tak punya masalah dengan sila-sila dalam Pancasila, NKRI, dan UUD 45. jadi tak ada hambatan ideologis untuk berkoalisi dengan partai manapun. Kita hanya harus terus menegaskan bahwa dakwah adalah ruh dan aliran darah dalam PKS. Upaya pembentukan Peradaban Islam Baru di Indonesia sekalipun dicita-citakan dan menjadi wacana, hanya akan terlaksana ketika rakyat siap, dan betul-betul menginginkannya. Itupun bisa jadi masih sangat panjang saatnya. Jadi kalem aje deh.
Pada Pemilu 2009 nanti kita punya peluang besar untuk menang. Tentu kita pun tidak boleh, dan tidak bisa terus sendiri. Kita perlu berkoalisi dengan lebih permanen. Terutama untuk pemilu presiden. Percaya deh, untuk urusan yang satu ini partai-parlai itu akan menyambangi kita. Kita punya posisi tawar yang kuat. Tidak lama lagi kita akan melihat, banyak partai mulai pedekate dengan kita. Kita bisa jual mahal sih. Karena kunci peta politik pada pemilu 2009 ada di tangan kita. Semoga kita tetap bisa bermain cantik, bermartabat, dan bermanfaat. Terutama bagi kejayaan bangsa ini.
Pemilu 2009?, ah kayaknya masih lama deh. Penting untuk tetap mengatur ritme atau tempo permainan, agar kita bisa tetap “segar” dan “bugar”. Kita sih cuman ingin mengabdi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Itu aja.
Wallahu a’lam
[Asep Setiawan]
Media Indonesia
Pemilu Online
Eramuslim:
Syariah
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 2.5 China Mainland License.